Bag 1: Errol Morris, Robert McNamara dan Donald Rumsfeld

Ketika saya pertama menjadi wartawan koran harian The Jakarta Post di tahun 2005, saya diharuskan menjalani pelatihan untuk wartawan pemula. Saya ingat salah satu sesi pelatihan, saya dan teman-teman menonton film dokumenter “The Fog of War” (Kabut Perang) (2003) karya Errol Morris. Dalam film ini, Morris, seorang mantan detektif swasta dan pembuat film dokumenter handal, mewawancarai Robert McNamara mengenai masa ia menjabat  Menteri Pertahanan Amerika Serikat di era tahun 60-an. Lebih dari 50,000 tentara AS tewas dalam perang Vietnam di masa itu. Milyaran manusia dari negara dunia ketiga, seperti Vietnam, Indonesia dan negara-negara Amerika Latin, tewas dalam berbagai macam perang melawan Amerika atau perang saudara yang didalangi oleh negara tersebut. Tidak aneh film ini menjadi salah satu materi pelatihan jurnalistik. Cara Morris mewawancarai McNamara sangat berseni. Pelatih kami, mantan pemimpin redaksi The Jakarta Post Raymond Toruan berkata “Perhatikan cara ia bertanya”. Morris lihai dalam menggunakan waktu dalam wawancara. Ia akan tetap diam meskipun subjek wawancara telah selesai berbicara. Biasanya orang tidak tahan dengan sunyi dan akan mengisi kesunyian dengan kata-kata yang biasanya tidak disangka-sangka. Morris mampu menggali isi kepala McNamara mengenai keputusan-keputusan pemerintah Amerika masa itu. Bahkan mampu menarik pengakuan dari McNamara bahwa Amerika telah melakukan kejahatan perang dalam Perang Dunia II dan Perang Vietnam. Ia menerima penghargaan Oscar untuk film dokumenter tersebut.

Film “The Fog War” memiliki judul yang agak panjang. Judul penuh-nya adalah: “The Fog of War: Eleven lessons from Robert Macnamara’s life”. Tampaknya Amerika tidak belajar dari 11 pelajaran dari hidup Robert Macnamara. Ketika film The Fog of War keluar, Amerika kembali memulai peperangan. Kali ini terhadap Iraq. Kaget tragedi 9/11 terjadi, para politisi di Gedung Putih mencari cara untuk melindungi negaranya dari serangan terroris. Mereka menghubungkan 9/11 dengan Iraq dan pemimpinnya, Sadam Hussein. Mereka yakin bahwa Iraq memiliki senjata pemusnah massal, bahkan senjata nuklir. Sisanya tinggal sejarah. Tidak ada senjata pemusnah massal. Amerika menjajah Iraq dan menyiksa ratusan orang yang diduga teroris. Dalam perang yang mereka namai “War on Terror” (Perang melawan terror), pemerintah Amerika Serikat melanggar perjanjian Genewa dan hukum international hak asasi manusia. Kurang dari setahun dari perang Iraq dimulai, foto-foto penyiksaan terhadap napi di penjara Abu Ghraib muncul ke permukaan.

Sepuluh tahun sejak film “Fog of War” keluar, Morris kembali membuat film dokumenter serupa. “The Unknown Known” (2013) adalah wawancara Morris dengan mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Donald Rumsfeld dalam kabinet George W. Bush. Mungkin perlu saya ralat, film dokumenter terbaru Morris, mirip dengan “Fog of War” – sama-sama mewawancarai mantan menteri pertahanan AS yang bertanggung jawab terhadap peperangan yang dilakukan oleh negara tersebut – tapi film ini berbeda dalam kesimpulan akhir yang bisa diambil oleh penonton mengenai subjek wawancara Morris. Bila McNamara jelas merasa bersalah atas kematian begitu banyak orang dan mengakui bahwa Amerika Serikat berbuat kesalahan, Rumsfeld seolah buta.

Saya menonton film “The Unknown Known” di Harvard Film Archive baru-baru ini. Morris juga ada di sana dan berbicara mengenai filmnya (yang diputar gratis) sesudah pemutaran. Hampir saja saya tidak bisa menonton film tersebut, karena meski saya datang 30 menit sebelum pemutaran, antrian penonton sudah mengular. Saya beruntung dan dapat tempat duduk di barisan ketiga dari depan layar.

Yang lekat dalam ingatan saya mengenai film “The Unknown Known” adalah senyum Rumsfeld dan gaya bercandanya yang jenaka. Ia tampak seperti seorang manusia yang tak memiliki masalah dalam hidup. Morris bercanda menyebut Rumsfeld sebagai seorang Yahudi yang paling tidak Yahudi. “Tidak ada rasa muak pada diri sendiri. Tidak ada kebencian pada diri sendiri. Tidak ada keraguan akan diri sendiri Ia sangat berbeda dari saya.” Ia juga menyebut Rumsfeld sebagai seseorang dengan Sindrom Kekurangan Ironi (Irony Deficit Disorder).

Morris membuat film ini karena muak dengan kekaguman orang-orang terhadap kalimat menjliment yang digunakan oleh Rumsfeld untuk menjustifikasi perang meskipun belum ada bukti bahwa Iraq betul memiliki senjata pemusnah massal. Rumsfeld ketika ditanya apakah Amerika Serikat yakin bahwa Iraq memiliki senjata pemusnah massal, menjawab: “There are known knowns; there are things we know that we know. There are known unknowns; there are things that we know we don’t know. But there are also unknown unknowns – there are things we do not know we do not know”. Rumsfeld juga menganggap bahwa “ketiadaan bukti bukan bukti ketiadaan”.

“Gobledigook,” kata Morris atau dengan kata lain “omong kosong”.

Morris dalam tanya jawab sesudah pemutaran terlihat jelas tidak dapat memisahkan ketidaksukaannya terhadap tindakan Rumsfeld dalam Perang Melawan Teror dengan diri Rumsfeld sendiri. Ia berbicara dengan suara lantang dan terkadang berteriak dengan semangat ketika menjelaskan pengalaman dan analisisnya mengenai Rumsfeld.

Morris melihat bahwa Rumsfeld menggunakan bahasa berkebalikan dari kebanyakan orang. Bila umumnya orang menggunakan bahasa untuk membuat jelas suatu gambaran dari kenyataan, Rumsfeld menggunakan bahasa untuk mengaburkannya. Dari siapa? Morris bertanya. Morris mengira bahwa Rumsfeld mencoba mengaburkan kenyataan dari dirinya sendiri. Semua usaha Morris mencoba menggali jawaban dari Rumsfeld berakhir pada kegilaan. Morris mengatakan bahwa mungkin film ini merupakan bukti ketiadaan jiwa Rumsfeld.

Tapi saya penasaran. Ada rentang waktu yang panjang (sekitar 30 tahun) antara perang Vietnam dengan wawancara McNamara, sementara perang Iraq belum ada 1 dekade berakhir. Mungkin belum ada waktu yang panjang untuk Rumsfeld melihat ke belakang dan mengambil pelajaran dari tindakan-tindakannya, dan mengakui bahwa ia salah. Rasanya sulit untuk dipercaya bahwa seorang manusia tidak memiliki kemampuan untuk melihat kenyataan. Meski saya benci apa yang dilakukan oleh Rumsfeld, saya yakin bahwa Rumsfeld tidak buta. Mungkin saja untuk seorang dengan sindrom kekurangan ironi akut seperti Rumsfeld, ia perlu waktu lebih banyak untuk melihat kenyataan.

Saya tidak bisa tidak, ingin tahu lebih banyak mengenai Morris, proyek-proyeknya mengungkap kejujuran, dan teknik penyelidikan dan wawancara beliau. Maka sesudah film dan tanya jawab berakhir saya menghampiri beliau. Ia tinggi dengan wajah bundar dan mata yang berkilat. Mata orang yang selalu penasaran. Saya minta waktu untuk wawancara dengan beliau dan ia setuju. Besok saya datang ke kantor beliau dan cari tahu lebih banyak mengenai dia. Salah satu hal yang saya penasaran adalah bagaimana ia bisa tetap waras ditengah ketidakadilan yang ia ungkapkan dalam karya-karyanya. Kita lihat apa jawabnya.

Bersambung

 

 

 

2 thoughts on “Bag 1: Errol Morris, Robert McNamara dan Donald Rumsfeld

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s